Murid Kelas 6 Belum Menguasai Calistung: Kisah Diana Cristiana Dacosta Ati Mengajar di Pedalaman Papua
Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” sangat cocok untuk disematkan kepada para guru yang berperan besar dalam membentuk generasi masa depan bangsa ini.
Menyebut guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” tidak hanya pantas diberikan karena mereka telah berjasa dalam memberikan ilmu dan pengetahuan serta membantu karakter para siswa, tapi juga karena dedikasi mereka.
Dedikasi guru seperti Diana Cristiana Dacosta Ati yang mengajar di pedalaman Papua, yang lokasinya sangat sulit dijangkau, merupakan bukti nyata bahwa guru adalah salah satu “pahlawan” di kehidupan nyata.
Kondisi Pendidikan di Pedalaman Papua
Bisa dibilang, kondisi pendidikan di pedalaman Papua cukup memprihatinkan. Di sana, banyak sekolah yang kekurangan fasilitas. Saking minimnya fasilitas yang tersedia, tidak sedikit sekolah yang masih memakai ruang seadanya atau bahkan tidak dilengkapi dengan meja dan kursi.
Begitu pula dengan tenaga tenaga pengajarnya. Banyak sekali sekolah-sekolah di pedalaman Papua yang gurunya sangat terbatas. Atau, bahkan hanya datang sesekali waktu saja. Kalaupun ada guru yang mau rutin mengajar, tak jarang mereka harus memikul beban berat, karena satu guru sering kali terpaksa harus mengurus beberapa kelas sekaligus.
Diantara salah satu penyebab mengapa fasilitas dan juga jumlah guru yang mengajar di pedalaman Papua sangat terbatas adalah karena akses menuju ke sekolah yang jauh dan sulit.
SDN Atti yang ada di Kabupaten Mappi adalah salah satu contohnya. Untuk bisa menjangkau sekolah ini dari pusat kota Mappi (Distrik Kepi), para guru harus menempuh perjalanan hingga 2 hari.
Kalau ditotal-total... biaya yang dikeluarkan untuk perjalanan dari Distrik Kepi hingga sampai ke Kampung Atti nyaris menghabiskan biaya sebesar 1 juta rupiah.
Selain serba kekurangan dari sisi fasilitas maupun tenaga pengajar, sekolah-sekolah di pedalaman juga umumnya kekurangan murid. Karena sebagian besar anak-anak usia sekolah lebih banyak membantu orang tua mereka untuk mencari makanan di hutan atau mencari ikan di sungai.
Kalaupun ada yang mau bersekolah, mereka seringkali tidak memiliki alat tulis seperti buku maupun pensil dan pena.
“Siswa dan orang tua murid tak mampu menyediakan alat tulis sendiri. Kebanyakan warga Atti tak punya penghasilan dan hanya memegang uang saat BLT atau saat Dana Desa cair,” tutur Diana Cristiana Dacosta Ati.
Itulah salah satu gambaran bagaimana kondisi sekolah-sekolah di pedalaman Papua yang dihadapi oleh guru seperti Diana sapaan akrab Diana Cristiana Dacosta Ati.
Perjuangan Diana Mengajar di Pedalaman Papua
Perjuangan mengajar di pedalaman Papua memang tidak ringan. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Diana dan 2 temannya (Fransiska Erlyansi Bere dan Oktofianus Halla) untuk mengabdi sebagai tenaga pengajar di pedalaman Papua.
Diana bercerita bahwa ia telah menjadi tenaga pengajar di SDN Atti (Kampung Atti), yang berada di Kecamatan Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan, sejak tahun 2021 dengan status sebagai Guru Penggerak.
Ketika sampai di Kampung Atti, di sana belum ada rumah dinas untuk guru. Sehingga, ia terpaksa harus menginap di warga sampai rumah dinas tersedia.
Selain belum punya rumah dinas, Diana juga kesulitan mengakses kebutuhan dasar seperti air bersih. Karena itu, tak heran apabila ia sampai mengalami ISK (infeksi saluran kemih) hingga 3x selamat tahun pertamanya di sana.
Tapi fasilitas yang minim dan sulitnya akses kebutuhan dasar bagi Diana bukanlah tantangan yang sesungguhnya. Karena tantangan yang sesungguhnya justru datang dari warga yang menganggap sekolah tidak penting. Menurut warga, tanpa bersekolah pun mereka sudah bisa mencari makan di hutan atau mencari ikan di sungai.
Namun dengan penuh kesabaran, Diana mencoba meyakinkan warga, bahwa sekolah sangat penting bagi masa depan anak-anak mereka. Pelan-pelan, Diana mencoba mendekati orang tua murid untuk diajak berbicara dari hati ke hati dan menjelaskan bagaimana pentingnya pendidikan bagi di masa depan mereka.
Saat tiba di kampung Atti pada 2021, di sana terdapat sekitar 65 anak usia sekolah. Sebagian besar siswa, termasuk yang duduk di kelas V dan VI belum menguasai calistung (membaca, menulis, dan berhitung).
Karena itulah, sebagian besar waktu mengajar Diana dan 2 kawannya dihabiskan untuk mengajarkan anak-anak bagaimana caranya membaca, menulis, dan berhitung. Tak lupa, sebelum memasuki ruang kelas, Diana akan menyempatkan diri untuk memberikan sedikit bekal pendidikan nasionalisme kepada anak didiknya.
Ungkapan “usaha tidak menghianati hasil” itu benar adanya. Berkat kerja keras Diana dan 2 rekannya, jumlah siswa yang mau bersekolah di SDN Atti terus bertambah dari tahun ke tahun.
“Hidup tak semata-mata soal uang dan karier yang mentereng di kota besar, namun juga pengabdian bagi sesama,” Katanya Diana pada suatu kesempatan.
Puncak kebahagiaan Diana dan kedua rekannya terjadi pada Juni 2023 ketika 14 orang siswanya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke SMP.
Tidak hanya itu, kini sebagian besar anak-anak usia sekolah di kampung Atti sudah mulai bisa membaca dan menulis.
“Kami bersyukur atas kehadiran Diana dan kedua rekannya. Berkat kehadiran mereka, anak-anak di kampung (Atti), bahkan yang paling kecil pun sekarang sudah bisa membaca.” Ucap Willem Pasim, salah satu pengurus Badan Musyawarah Kampung Atti.
Sebagai ucapan terima kasih kepada Diana dan dua rekannya, warga Kampung Atti kerap mengirimi mereka berbagai hasil kebun maupun hasil berburu di hutan dan di sungai, berupa bahan makanan seperti singkong, ubi, sayur-sayuran, dan ikan.
Penghargaan SATU Indonesia Awards bagi “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”
Tidak hanya aktif mengajar, Diana juga aktif mencari support dari luar untuk membantu anak-anak didiknya agar bisa mendapatkan fasilitas belajar yang memadai.
Ia bahkan tak segan untuk mencari orang tua asuh bagi anak muridnya yang yatim, dan mencari donatur yang mau menyumbangkan buku dan alat tulis bagi.
Astra merupakan salah satu donatur yang aktif memberikan dukungan kepada Diana dan anak didiknya di pedalaman Papua. Tak hanya memberikan support dalam bentuk alat tulis maupun media pembelajaran, Astra juga menobatkan Wanita kelahiran Timor Leste ini sebagai penerima SATU Indonesia Awards 2023 yang diserahkan secara seremonial di Menara Astra, Jakarta, pada 1 November 2023 yang lalu.
Para juri SATU Indonesia Awards mengukuhkan Diana sebagai salah satu finalis pada ajang SATU Indonesia Awards 2023 karena dedikasinya yang luar biasa dalam dunia pendidikan di pelosok Papua Selatan.
Diana dianggap berhasil meningkatkan taraf pendidikan anak-anak di Kampung Atti meskipun menghadapi banyak tantangan seperti, fasilitas sekolah yang sangat sederhana, serta banyaknya anak yang belum menguasai kemampuan dasar calistung (membaca, menulis, berhitung) meskipun sudah kelas VI.
Posting Komentar untuk "Murid Kelas 6 Belum Menguasai Calistung: Kisah Diana Cristiana Dacosta Ati Mengajar di Pedalaman Papua"